ETIKA KOMUNIKASI BIROKRASI DAN BETAPA PENTINGNYA SOSIALISASI
www.mgmpsosiologijateng.com - Opini. Desentralisasi pendidikan pada tahun 2003
memberikan pelimpahan kewenangan Sekolah ke Kabupaten/ Kota. Tiga belas tahun
kemudian, tepatnya tahun 2016, Sekolah menengah menjadi kewenangan provinsi. Terlepas
dari apa sebenarnya tujuan pemerintah menarik kewenangan yang selama ini di
Kabupaten/ Kota menjadi ke Provinsi, lebih menarik kita beradaptasi dengan
kondisi dan situasi yang ada. Provinsi Jawa Tengah membentang dari barat ke
timur, dan utara ke selatan, menjadikan beragamnya kondisi geografis, budaya,
dan sosial. Perbedaan budaya seringkali menjadi penyebab konflik yang tidak
dapat dihindari.
Memegang lembaga sekelas provinsi tentu saja sangat berat, ada
banyak kepentingan, tuntutan, ide, gagasan, pendapat dari berbagai macam individu dengan
keragaman cara berpikir dan bertindak. Tidak jarang menjadi polemik tersendiri.
Belum lagi ditambah rasa ewuh pekewuh
khas Jawa yang semakin menjadikan tidak tersampaikannya isi pesan dari
komunikator ke komunikan, atau sebaliknya. Dan hal ini, tidak jarang,
menimbulkan masalah.
Istilah etika dan etiket ada
kalanya digunakan untuk pengertian yang sama dalam kehidupan sehari-hari. Etika
lebih luas pengertian dan penggunaannya daripada etiket. Istilah etiket, berasal dari kata etiquette (Perancis), yang
berarti kartu undangan, yang biasa digunakan oleh raja-raja Perancis ketika
menyelenggarakan pesta. Dalam perkembangan selanjutnya istilah etiket tidak
lagi berarti kartu undangan. Etiket artinya lebih menitikberatkan pada
cara-cara berbicara yang sopan, cara berpakaian, cara duduk, cara menerima tamu
di rumah/ di kantor dan sopan santun lainnya. Etiket ini sering disebut pula
tata krama. Maksudnya kebiasaan sopan santun yang disepakati dalam lingkungan
pergaulan setempat. Tata mempunyai arti adat, aturan, norma, peraturan,
sedangkan krama berarti tindakan, perbuatan. Dengan demikian tata krama berarti
sopan santun, kebiasaan sopan santun atau tata sopan santun. Kesadaran manusia
mengenai baik buruk disebut kesadaran etis atau kesadaran moral. Etiket merupakan sejumlah peraturan
kesopanan yang tidak tertulis, namun harus diketahui, diperhatikan dan ditaati
dalam kehidupan bermasyarakat. Etiket juga berisi sejumlah aturan yang lama
mengenai tingkah laku perorangan dalam masyarakat beradab berupa tata cara
formal atau tata krama lahiriah untuk mengatur hubungan antar pribadi sesuai dengan
status sosialnya.
Sedangkan etika komunikasi
adalah norma, nilai, atau ukuran tingkah laku baik dalam kegiatan komunikasi di
suatu masyarakat.
Guru, sebagai ujung tombak
pendidikan selalu dituntut untuk melaksanakan etika “Urus Segala Sesuatu Secara
Berjenjang”, hal ini menjadi semacam falsafah yang harus dipraktekkan tidak
hanya dihafalkan. Namun,
adakalanya guru berada pada posisi buntu dalam mencari jawaban atas masalahnya.
Beberapa kejadian lapor melapor terkait permasalahan yang dihadapi guru,
ujungnya selalu solutif walaupun tetap disayangkan kenapa harus melalui tahap
yang tidak sesuai prosedur (menurut birokrasi). Tetapi tidak jarang juga,
keberanian (atau ketidaksabaran?) guru menerabas jalan justru membuka solusi untuk masalah yang dihadapi. Padahal saat masalah tersebut sampai di
pejabat tinggi (memangnya ada pejabat rendah?), mudah saja penyelesaiannya. Tanpa
ribet, langsung selesai saat itu juga.
Melihat fenomena ini, kiranya tepat kita
mengingat perumpamaan Jawa, Dupak Bujang, Semu Mantri, Esem Bupati. Ini adalah
perumpamaan perilaku seseorang sesuai dengan stratifikasi sosial, bujang strata
terendah karena orang yang tidak memiliki lahan garapan, pesuruh dari petani
pemilik lahan, atau orang yang kasar
sehingga untuk menegur dengan ditendang, didupak. Mantri merupakan priyayi
rendahan jika menegur lebih sopan, cukup semu (menyindir). Bupati menempati
strata priyayi tinggi jika tidak senang ekspresinya cukup dengan esem (senyum).
Hierarki kekuasaan menempatkan individu dengan
jabatan tinggi pada strata Priyayi, pola komunikasi kaum ini penuh dengan
senyum manis seperti senyummu (esem), halus, tidak perlu ndupak-ndupak,
tertata dan tepat sasaran. Jika kaum ini menginginkan sesuatu, tinggal mesem
saja, maka bawahannya akan segera memahami apa yang dikarepke sang pimpinan. Di era digital ini, bisa saja dalam bentuk forward teks whatsapp dari atasan ke bawahannya, dan bagi anak buah, teks ini akan menjadi pedoman yang akan segera disampaikan ke bawahan yang lebih bawah lagi (bawahnya bawah pokoknya). Ada pendapat bahwa kemampuan membaca teks tergantung kondisi hati atau suasana hati sang pembaca atau penerima teks. Bisa jadi dari siapa teks atau pesan digital itu berasal. Kembali ke hierarki kekuasaan, pesan berupa anjuran atau perintah akan berbeda makna jika yang menyampaikan adalah atasan. Strata di bawahnya berusaha menjalankan sesegera mungkin, orang yang dibawahnya lagi, cenderung cuek atau tidak begitu kelimpungan saat tiba suatu masa gagal melaksanakan pesan komunikan.
Permasalahan miss communication dalam kelembagaan bisa saja terjadi, tidak sedikit menjadi chaos tersendiri bagi individu yang terlibat di dalamnya. Masalahnya strata yang paling bawahlah yang paling tertekan dan terintimidasi. Posisinya tidak menguntungkan. Berbeda dengan strata tengah yang,,,,,,hujan turun lagi,,,,, ya begitulah, serba setengah-setengah. Atas tidak, rendah ya tidak, sarwo nanggung. Peran sosialisasi, tentang apapun yang bersifat kelembagaan sangat penting di sini. Sosialisasi adalah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Sejumlah sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role theory). Karena dalam proses sosialisasi diajarkan peran-peran yang harus dijalankan oleh individu. Siapa harus apa, si anu sebagai ini harus begini, si itu sebagai itu harus begitu. Ada norma-norma yang tertulis maupun tidak harus dipatuhi.
Apakah guru termasuk dalam bujang pada falsafah Dupak Bujang, Semu Mantri, Esem Bupati? secara strata pada masa feodal, guru ada pada midlle class, Mantri, walaupun kenyataannya dianggap kuli dalam struktur hierarki yang menaunginya. Jika sepakat guru sebagai golongan bujang, yang kasar dan rendahan, boleh didupak-dupak, maka bujang juga boleh mbalelo dan memperjuangkan nasibnya. Konsekuensinya? halah,,,, paling cuma didupak. Era saat ini adalah zaman demokratis, di mana kehidupan feodal seperti itu sudah semakin luntur kecuali ada oknum yang rindu masa lalu dan ingin to be continue. Dan yang pasti guru tetap harus selalu membaca peraturan yang berlaku untuk kenyamanan kerjanya, guru berpegang pada pedoman, lembaga yang menaungi berpegang pada kewajiban memberi pelayanan kepada yang dilayani. Komunikasikan segala sesuatu secara berjenjang, yakinlah aspirasi guru akan diperhatikan dan setiap permasalahan akan dicarikan jalan keluarnya. Jika sudah berjenjang, sudah sesuai prosedural, tetap tidak mendapatkan apa yang sesuai keinginan, mungkin keinginan kita yang aneh, dan lagian tidak semua apa yang kita mau harus terwujud to? Seperti misalnya sudah 10 Tahun masa kerja, dilaju aben ndino, Jarak rumah 52 KM ditempuh selama 2 Jam by car, melewati hutan pinus dan karet, jempalitan minta mutasi ga disetujui, mungkin perlu berpikir ulang, hammbokkkk yoooo mundur dari guru, dadio juragan batik waeeeeee, yang mau jadi PNS jek okeh!!!!!!!!
Penulis: Mba Admin dengan inisial Luluk Wulandari
Penulis: Mba Admin dengan inisial Luluk Wulandari
0 Response to "ETIKA KOMUNIKASI BIROKRASI DAN BETAPA PENTINGNYA SOSIALISASI"
Posting Komentar