Karena Merdeka Belajar adalah Hak Semua Guru dan Siswa
Oleh: Luluk Wulandari, S.Pd., M.Pd (Ketua MGMP Sosiologi Provinsi Jawa Tengah)
OPINI - Masalah pendidikan sebetulnya tidak pernah terjadi di ruang kelas, bukan masalah yang menjadi tanggung jawab guru atau masalah yang berhubungan dengan konflik antar pelajar. Masalah pendidikan adalah masalah disintegrasi program pendidikan dengan sektor kehidupan lain yang lebih luas. Pendidikan menjadi masalah pengembangan budaya, membangun suatu peradaban manusia yang berisi pengembangan perilaku produktif dan pencapaian upaya inovatif dalam tata perilaku keseharian.
Pembaharuan pendidikan belum menyentuh sistem pengembangan yang dibutuhkan masyarakat. Pembaruan hanya dirasakan oleh kepentingan individual sehingga menenggelamkan para pendidik dan perencana dalam isu-isu didaktis pedagogis atau menjadi tidak berdaya dalam pesona alat dan teknik teknik baru yang diimpor, yang sebenarnya tidak direncanakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat secara empirik. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pengawasan sistem merupakan salah satu jaminan paling aman untuk mencapai relevansi. Kebutuhan perencanaan pendidikan tidak pernah bertolak dari filosofi dan paradigma pendidikan yang jelas, tetapi selalu memprioritaskan segi teknis dan peningkatan aspek pembangunan fisik.
Pendidikan di Indonesia dikendalikan oleh kekuasaan negara yang sangat birokratis dan realistis terkait dengan sumber pendanaan yang terbatas. Bukan orientasi kebutuhan. Membangun sebuah peradaban bangsa di Indonesia dikendalikan secara birokratis oleh aparat yang sarat kepentingan kekuasaan.
- Guru tidak diminta untuk berpikir bagi kemajuan anak didik, tetapi diberi petunjuk dan proyek kegiatan dengan anggaran keuangan yang telah ditentukan.
- Proses pendidikan menghasilkan ketergantungan pada kemampuan kognitif, tetapi tidak menghasilkan kemampuan jenis keterampilan untuk bisa hidup di masyarakat.
- Pendidikan di Indonesia belum menghasilkan cara berpikir kritis demokratis yang dibutuhkan untuk menumbuhkan pribadi yang tangguh guna membangun peradabannya, yang dihasilkan adalah lulusan lembaga sekolah yang pandai dengan tolak ukur nilai hasil ujian akhir.
Itulah mengapa presiden mempercayakan institusi pendidikan kepada orang muda yang berasal dari pebisnis. Beberapa waktu yang lalu sudah bisa disaksikan bahwa aplikasi ruang guru menggeser lembaga pendidikan informal seperti Primagama, Neutron, GO, dsb. Kali ini saya melihat anak kelas XII membayar murah untuk tryout UTBK masuk perguruan tinggi. Dibayar online, dikerjakan online pula. Siapa dibalik aplikasi itu semua? Tentunya bukan guru or tenaga kependidikan yang sibuk (atau setia?) dengan paradigma lama.
Tujuan pendidikan nasional ada di UU Sisdiknas tahun 2003, dan cita2 tersebut mengadopsi filsafat pendidikan menurut Plato. Intinya sederhana, hanya mendidik generasi menjadi warga negara yang baik. Bukan menjadi insan yang sejak kecil diberangus toleransinya, diadu domba untuk menjadi bintang di kelas, diciptakan jiwa bersaing dengan teman sendiri. Lupa bahwa pendidikan seharusnya mendewasakan, membebaskan dari belenggu ketidaktahuan dan ketidakbenaran.
Konsep merdeka belajar, justru dipandang rendah mereka yang sudah berada di zona nyaman. Para senior hasil produk pendidikan lama, yang takut mengalami cultural lag jika terjadi kegoyahan dalam tatanan yang sudah ada. Di beberapa kesempatan saya melihat frasa merdeka belajar dibuat bercandaan, gurunya tidak usah ngajar, merdeka semerdeka-merdekanya. Mereka tidak akan sampai ke pemahaman bahwa selama ini guru tertekan dengan sistem yang ada. Padahal jika dilihat lebih dalam, konsep merdeka belajar adalah penguat dari sistem kurtilas. Baik dari segi assessment maupun sintak2 pembelajaran yang ada. Ah mereka apa mudeng tentang itu semua. Butuh orang2 visioner, mampu, bersedia, optimis, siap mengikuti perkembangan teknologi dan kemajuan zaman yang semakin kompleks.
Terlepas dari apa sebenarnya yang menjadi dasar pemerintah menarik sekolah menengah ke Provinsi, saya lebih memilih berpikir apa yang bisa dilakukan guru ketika lingkup networking semakin meluas. Ekspektasi saya pribadi kepada layanan pendidikan setara provinsi bisa jadi terlalu tinggi. Tetibanya sadar ternyata banyak yang masih perlu dibenahi oleh provinsi selain tentang MGMP. Sekuat apapun berteriak bahwa hanya MGMP satu2nya organisasi guru yang tidak memiliki tendensi apapun. Akhirnya harus jalan di tempat juga karena mengimbangi fenomena sosial yang ada. Semangat pengurus dalam mengoptimalkan pembelajaran berbasis online terkendala dengan semangat mengejar kebanggaan nilai UN, atau mungkin nilai UN masih menjadi dasar penentuan besarnya bantuan untuk sekolah? Itulah sebabnya yang paling diminati adalah pelayanan untuk siswa. Ke depan optimalisasi website akan terus ditingkatkan. Karena merdeka belajar adalah hak semua guru dan siswa.
0 Response to "Karena Merdeka Belajar adalah Hak Semua Guru dan Siswa"
Posting Komentar