Pembangunan Manusia Berbasis Gender
www.mgmpsosiologijateng.com - JAKARTA, Diskriminasi gender dalam berbagai hal di kehidupan bermasyarakat menimbulkan perbedaan capaian antara laki-laki dan perempuan. Di wilayah yang masih kental akan budaya patriarki, perempuan umumnya lebih tertinggal dari laki-laki baik di bidang kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Hal ini terjadi karena norma yang ada pada budaya patriarki seringkali merugikan perempuan dengan menempatkannya sebagai “warga kelas dua”.
Kesepakatan secara internasional seperti Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan/Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) dan Beijing Declaration and Platform for Action (BDPA). Kini, isu gender menjadi salah satu hal penting yang dicantumkan dalam berbagai dokumen perencanaan pembangunan, baik pada tingkat nasional maupun global.
Isu gender menjadi salah satu poin dalam tujuan pembangunan berkelanjutan/ Sustainable Development Goals (SDGs). SDGs merupakan kelanjutan dari tujuan pembangunan millenium/Millenium Development Goals (MDGs) yang telah berakhir pada tahun 2015. Kesetaraan gender tercantum dalam tujuan ke-5 SDGs yakni “Mencapai Kesetaraan Gender dan Memberdayakan Kaum Perempuan”. Gender merupakan isu yang bersifat multidimensi. Isu ini meliputi sisi kesehatan, pendidikan dan ekonomi yang juga menjadi fokus SDGs. Selain secara khusus dicantumkan dalam tujuan kelima, isu gender juga tercakup pada hampir seluruh tujuan dalam tujuan pembangunan berkelanjutan.
Berdasarkan hasil penghitungan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), pembangunan laki-laki dan perempuan di Indonesia mengalami peningkatan dalam 7 tahun terakhir. Pada tahun 2017, pembangunan perempuan tumbuh lebih cepat dibanding pembangunan laki-laki yang menyebabkan peningkatan nilai Indeks Pembangunan Gender (IPG). IPG Indonesia mengalami kenaikan 0,14 poin atau tumbuh 0,15 persen dibanding tahun 2016. Meskipun IPG Indonesia mengalami peningkatan, capaian ini belum berhasil memulihkan trend IPG di periode tahun 2010-2015. Nilai IPG tahun 2017 masih berada sedikit di bawah capaian tahun 2015 sebesar 91,03.
IPM dibentuk oleh beberapa komponen, yaitu Umur Harapan Hidup (UHH), Harapan Lama Sekolah (HLS), Rata-rata Lama Sekolah (RLS), dan Pengeluaran perkapita yang disesuaikan. Di bidang kesehatan, UHH perempuan selalu lebih tinggi dibanding laki-laki. Pada tahun 2017 UHH perempuan sebesar 73,06 tahun, lebih besar dibanding UHH laki-laki yang berada di level 69,16 tahun. Dari aspek
pendidikan, peluang bersekolah antara laki-laki dan perempuan sudah hampir sama. Pada tahun 2017, perempuan dan laki-laki berpeluang untuk mengenyam pendidikan selama kurang lebih 12 tahun atau hingga kelas 12 sekolah menengah atas/sederajat. Selama delapan tahun terakhir, perempuan memiliki harapan untuk bersekolah yang sedikit lebih tinggi dibanding laki-laki. Harapan lama sekolah perempuan sebesar 12,93 tahun, sebesar 0,15 tahun lebih lama dibanding laki-laki yang berada pada level 12,78 tahun. Dari sisi rata-rata lama sekolah, lakilaki sudah mampu mengenyam pendidikan selama 8,56 tahun atau hingga kelas 8 sekolah menengah sedangkan perempuan berada satu tahun di bawahnya sebesar 7,65 tahun.
Ketimpangan antara laki-laki dan perempuan sangat terlihat dalam hal ekonomi. Di bidang ini, perempuan sangat tertinggal dibanding laki-laki. Pada tahun 2017, secara rata-rata pengeluaran perkapita perempuan sebesar Rp. 8,75 juta pertahun. Angka ini jauh di bawah pengeluaran perkapita laki-laki yang mencapai Rp. 14,93 juta per tahun.
Disparitas pembangunan gender terjadi antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Hal ini dapat dilihat dari peringkat IPG tertinggi yang mayoritas ditempati oleh provinsi-provinsi di KBI. Provinsi-provinsi dengan IPG tertinggi adalah Sulawesi Utara (94,78), DKI Jakarta (94,70), dan DI Yogyakarta (94,39). Sedangkan tiga provinsi dengan capaian IPG terendah adalah Kalimantan Timur (85,62), Papua Barat (82,42) dan Papua (79,09).
Lebih dari separuh dari jumlah kabupaen/kota di Indonesia telah mencapai IPG di atas 90. Namun, hal ini tidak serta merta dapat diartikan bahwa pembangunan manusia baik laki-laki maupun perempuan di daerah tersebut sudah tinggi. IPG diformulasikan sebagai rasio IPM perempuan terhadap IPM laki-laki. Nilai IPG yang tinggi bisa didapatkan dari daerah dengan IPM laki-laki dan IPM perempuan yang “sama-sama tinggi” dan “sama-sama rendah”. Terbukti, masih terdapat 2 kabupaten/ kota di Indonesia yang memiliki level IPG di atas 90, namun pembangunan manusia baik laki-laki maupun perempuan di wilayah tersebut masih berstatus rendah atau kurang dari 60. Kedua daerah tersebut adalah Kabupaten Sabu Raijua di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten Lanny Jaya di Papua.
Untuk melihat hubungan antara IPM dan IPG diperlukan pemetaan provinsi berdasarkan level IPG dan IPM. Oleh sebab itu digunakan analisis kuadran yang membagi provinsi dalam empat kelompok (kuadran). Kuadran I merupakan provinsi dengan IPM dan IPG di atas angka nasional. Kuadran II merupakan provinsi dengan kondisi IPM di atas angka nasional tetapi IPG di bawah angka nasional. Kuadran III adalah provinsi dengan IPM dan IPG di bawah angka nasional, sedangkan kuadran IV adalah provinsi dengan kondisi IPM di bawah angka nasional tetapi IPG di atas angka nasional. Dari hasil pengolahan data, 50 persen provinsi di Indonesia berada pada Kuadran III dimana capaian IPM maupun IPG provinsi berada dibawah nasional. Sedangkan provinsi yang berada pada Kuadran I dengan capaian IPM dan IPG pada level di atas nasional hanya sebanyak 7 provinsi.
Secara nasional, IDG Indonesia terus meningkat dalam 7 tahun terakhir dan mencapai angka 71,74 pada tahun 2017. Angka ini meningkat 0,35 poin atau sebesar 0,49 persen dibanding tahun 2016. Pertumbuhan IDG pada periode 2016-2017 tidak secepat sebelumnya yang mencapai 0,56 poin atau 0,79 persen. Melambatnya pertumbuhan IDG ini disebabkan oleh dua komponen yang tidak mengalami kenaikan pada tahun 2017 yaitu persentase perempuan di parlemen dan persentase perempuan dalam pekerjaan profesional.
Dilihat dari komponen pembentuk IDG, peningkatan IDG pada tahun 2017 disebabkan oleh semakin besarnya porsi sumbangan pendapatan yang diciptakan oleh perempuan. Sumbangan pendapatan perempuan mencapai 36,62 persen. Angka ini meningkat 0,20 persen dibanding tahun sebelumnya. Dua komponen lain yakni persentase perempuan dalam parlemen dan persentase perempuan sebagai tenaga profesional tidak mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Dari hasil pemilu tahun 2014, perempuan yang menduduki kursi DPR RI hanya sebesar 17,32 persen. Komponen persentase perempuan sebagai tenaga profesional menurun dari 47,59 persen di tahun 2016 menjadi 46,31 persen di tahun 2017.
Disparitas capaian IDG antara KBI dan KTI tidak begitu terlihat. Terdapat lima provinsi di KTI yang berada dalam 10 besar provinsi dengan IDG tertinggi. Bahkan, tiga besar provinsi dengan IDG tertingi ditempati oleh provinsi-provinsi di kawasan timur Indonesia. Di sisi lain, ada 3 provinsi di KBI yang berada dalam 10 besar provinsi dengan IDG terendah.
Posisi lima besar provinsi dengan IDG tertinggi tidak berubah selama dua tahun terakhir. Provinsi Sulawesi Utara kembali menunjukkan prestasinya dalam hal pemberdayaan perempuan. Pada tahun 2017, IDG Sulawesi Utara sebesar 82,37. Posisi kedua ditempati oleh Kalimantan Tengah dengan IDG sebesar 79,36 disusul oleh Maluku (78,87), Riau (75,36) dan Jawa Tengah (75,10). Sementara itu, lima provinsi dengan IDG terendah adalah Kalimantan Utara (61,09), Nusa Tenggara Barat (59,95), Kalimantan Timur (56,64), Kepulauan Bangka Belitung (54,91) dan Papua Barat (47,88).
Nilai IDG pada tingkat kabupaten/kota sangat bervariasi dengan rentang dari 28,71 hingga 86,20. IDG tertinggi pada level kabupaten/kota ditempati oleh Kabupaten Barito Utara di Provinsi Kalimantan Tengah dengan IDG sebesar 86,20 diikuti oleh Kota Kendari dan Kota Surabaya di posisi kedua dan ketiga. Sebanyak lima dari 10 kabupaten/kota dengan IDG tertinggi berada di KBI, dan 5 lainnya berada di KTI. Berbeda halnya dengan kabupaten/kota yang memiliki IDG tertinggi, sepuluh daerah dengan IDG terendah sebagian besar ditempati oleh kabupaten di wilayah timur Indonesia, terutama di Papua dan Papua Barat.
Pembangunan gender selayaknya memiliki asosiasi dengan pemberdayaan gender di suatu wilayah. Pemetaan wilayah berdasarkan capaian IPG dan IDG diperlukan sebagai dasar kebijakan yang tentunya disesuaikan dengan karakteristik wilayah tersebut. Ada empat kelompok dalam memetakan provinsi berdasarkan kondisinya. Kelompok kuadran I merupakan provinsi dengan IPG dan IDG di atas angka nasional, kuadran II merupakan provinsi dengan kondisi IPG di atas angka nasional tetapi IDG di bawah angka nasional, kuadran III adalah provinsi dengan IPG dan IDG di bawah angka nasional, sedangkan kuadran IV adalah provinsi dengan kondisi IPG di bawah angka nasional tetapi IDG di atas angka nasional. Sebagian besar provinsi berada pada kuadran III (14 provinsi), sementara hanya ada 4 provinsi yanng berada di posisi ideal (kuadran I).
0 Response to "Pembangunan Manusia Berbasis Gender "
Posting Komentar