Kritik Pendidikan: Pendidikan yang Membebaskan untuk Indonesia
Kita sebagai manusia diciptakan oleh Tuhan dengan kemampuan yang berbeda-beda dan tingkat atau kemampuan dalam menyerap ilmu yang berbeda-beda juga. Namun di Indonesia semua siswa disamaratakan kemampuannya dengan kurikulum yang ada di Indonesia ini. Semua siswa diajari dan harus bisa pelajaran eksak, padahal tidak semua siswa suka dengan pelajaran eksak. Ada siswa yang suka musik, olahraga, seni dll. Kurikulum yang ada saat ini mengharuskan siswa bisa pelajaran eksak padahal disaat lulus nanti hanya 5% dari pelajaran di Indonesia yang bisa diterapkan di kehidupan sehari-hari. Tidak mungkin saat kita membeli pentol di jalanan menggunakan rumus matematika. Jika kita bandingkan dengan negara lain, kurikulum di Indonesia ini sangat memberatkan siswanya. Keadaan ini merupakan fakta miris pendidikan di Indonesia yang harus segera mendapat perhatian dari Pemerintah Indonesia. Di negara lain, pendidikannya lebih mengutamakan pendidikan moral dan etika sehingga menghasilkan generasi yang memiliki karakter kuat.
Semangat pendidikan yang membebaskan kaum tertindas tentunya memang diperlukan di negara dunia ketiga seperti Indonesia dimana ketimpangan sosial ekonomi dan pendidikan masih sangat tinggi, namun tentunya akan ada penyesuaian bagaimana konsep tersebut akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Pada kenyataannya, pemikiran mengenai pendidikan yang membebaskan juga telah jauh dikumandangakan banyak pemikir-pemikir Indonesia yang melihat kondisi masyarakat Indonesia khususnya pada masa perjuangan kemerdekaan, seperti pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara & Tan Malaka, pada masa kekinian pun dimana ketimpangan masih terjadi pendidikan-pendidikan alternatif juga bermunculan untuk membebaskan pendidikan dari belenggu penindasan.
Dunia pendidikan global sekarang ini telah mengalami proses komodifikasi. Artinya, pendidikan menjadi barang dagangan dengan tujuan utama mencari dan mengembangkan keuntungan ekonomis. Segala tujuan lain disingkirkan, demi tujuan tersebut. Pedagogi kritis tentu ingin menanggapi kecenderungan yang merugikan pendidikan ini. Kecenderungan komodifikasi pun tidak hanya terjadi di pendidikan, tetapi di seluruh bidang kehidupan. Kebudayaan, sebagai ekspresi kehidupan dan peradaban tinggi, kini dilihat semata sebagai barang yang bisa diperjualbelikan, guna mencapai keuntungan ekonomis.
Pada titik ini, sekolah dan sistem pendidikan secara umum menjadi semacam penjara bagi guru dan murid. Mereka tidak dapat terlibat di dalam menentukan kebijakan pendidikan yang paling tepat untuk perkembangan peserta didik. Pekerjaan mereka diisi dengan administrasi dan birokrasi yang tidak ada hubungan langsung dengan dunia pendidikan sebagai keseluruhan. Fokus mereka pun hanya membentuk manusia-manusia patuh yang pandai menyelesaikan tes dan tugas, seperti robot-robot yang tak berpikir. Pendidikan pun disempitkan semata untuk memenuhi kepentingan bisnis dan industri, serta mengabaikan tujuan-tujuan pendidikan lainnya yang lebih dalam dan lebih luas. Tugas menghafal dihargai lebih tinggi dari pada analisis dengan menggunakan pemikiran kritis. Kepatuhan dihargai lebih tinggi dari pada kreativitas. Kompetisi untuk menjatuhkan lawan dihargai lebih tinggi, daripada kerja sama yag berpijak pada solidaritas. Lalu bagaimana gambaran potret di Indonesia sekarang ini???Apakah kita selaku pendidik telah menjerumuskan pendidikan ini atau sebaliknya. Mari bersama kita bercermin, selaku pendidik sudah memberikan pendidikan yang seharusnya diterima oleh siswa kita atau belum.
Ada lima catatan yang kiranya bisa diberikan kepada pemikiran Giroux, terutama dalam konteks Indonesia. Satu, sama seperti analisis Giroux, Indonesia pun mengalami tersebarnya pedagogi neoliberal di dalam pendidikan. Pendidikan pun disempitkan menjadi semata pengajaran kemampuan-kemampuan untuk menang di dalam kompetisi bisnis. Nilai-nilai luhur pendidikan, seperti kemanusiaan, sikap kritis, kepekaan moral, keterlibatan sosial dan demokrasi, pun terpinggirkan. Di dalam alam pikir neoliberalisme, uang dan ekonomi menjadi satu-satunya ukuran bagi semua bidang kehidupan manusia. Dua, di Indonesia, pendidikan juga dijajah oleh formalisme agama, yakni pemahaman agama yang terjebak pada ritual dan aturan-aturan buta, tanpa pemahaman akan inti dari agama tersebut. Pendidikan formalistik religius semacam ini jelas bertentangan dengan cita-cita bangsa Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sekaligus mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Yang tercipta justru sebaliknya, yakni manusia-manusia yang berpikir tertutup, ketinggalan perubahan jaman, fanatik dan cenderung intoleran di dalam banyak hal. Jika tidak ditanggapi secara kritis, pola pendidikan semacam ini justru menghancurkan mental dan pola pikir para peserta didik. Tiga, menyebarnya paham fundamentalism agama dan fundamentalisme ekonomi di dalam pendidikan membuat dunia pendidikan di Indonesia kehilangan nilai-nilai luhurnya. Peserta didik dibentuk menjadi orang yang patuh buta terhadap kekuasaan. Ia cerdas dan kreatif di dalam mematuhi perintah yang diberikan oleh para penguasa politik dan pemilik modal. Ia pun hanya peduli pada penumpukan kekayaan semata, dan menjadi tidak peduli terhadap beragam permasalahan sosial yang mengancam keutuhan hidupbersama. Dengan kata lain, pendidikan telah kehilangan roh sejatinya, dan menjadi semata pengajaran kepatuhan buta terhadap penguasa (Nida-Rümelin, 2013).
Empat, melihat keadaan Indonesia sekarang ini, pemikiran Giroux tentang pedagogi kritis jelas amat dibutuhkan. Pedagogi kritis adalah paradigma pendidikan sekaligus kehidupan yang menekankan sikap kritis terhadap hubungan-hubungan kekuasaan yang membentuk masyarakat. Sikap kritis ini dibarengi dengan wawasan luas serta kepekaan moral yang menuntut pada tindakan nyata yang membawa perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Baik dalam arti ini adalah kebaikan bersama, dimana setiap orang bisa hidup secara bebas dalam kemakmuran dan keadilan bersama. Pedagogi kritis bergerak melampaui pedagogi tradisional yang bersifat netral dan menuntut kepatuhan buta terhadap penguasa politik maupun ekonomi yang sudah ada. Lima, pedagogi kritis juga bisa berperan besar di dalam pengembangan demokrasi di Indonesia. Masyarakat demokratis membutuhkan warga yang mampu berpikir kritis dan rasional, guna menyingkapi berbagai persoalan yang muncul di dalam hidup bersama. Demokrasi mengandaikan warga negara yang cukup mampu membuat keputusan dan mengolah informasi secara kritis dan rasional. Ini lalu dibalut dengan kepekaan moral, wawasan yang luas serta keberanian untuk terlibat di dalam perubahan sosial. Tanpa ini semua, demokrasi di Indonesia tidak akan berjalan, dan akan terjebak pada berbagai bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme, seperti yang banyak disaksikan sekarang ini.
Giroux menawarkan perubahan paradigma di dalam konteks pendidikan dari pedagogi tradisional yang bersifat netral dan universal menuju pedagogi kritis yang bersifat kritis dan kontekstual. Pedagogi tradisional cenderung berpihak pada penguasa politik dan ekonomi yang ada. Sementara, pedagogi kritis memetaka hubungan-hubungan kekuasaan yang ada, sehingga bisa mendorong terjadinya perubahan sosial ke arah masyarakat yang lebih terbuka, bebas dan adil. Tidak berhenti disitu, pedagogi kritis juga mengembangkan wawasan dan kepekaan moral di dalam memahami keadaan sosial. Ini semua menjadi bekal bagi keterlibatan sosial peserta didik di dalam proses perubahan sosial. Kritik utama pedagogi kritis, menurut Giroux, adalah pola pikir neoliberalis yang menempatkan ekonomi sebagai ukuran bagi segala sesuatu di dalam hidup. Dengan melihat keadaan Indonesia, serta beberapa ide dasar dari pedagogi kritis, maka dapatlah disimpulkan, bahwa pedagogi kritis amat cocok diterapkan di Indonesia.
Penulis: Mas Ibe (Guru Sosiologi Jawa Tengah)
CP:
Penyelaras: Admin
0 Response to "Kritik Pendidikan: Pendidikan yang Membebaskan untuk Indonesia"
Posting Komentar