Sekali Mendayung, Tiga Macam Literasi Terlampaui
Pada suatu hari ada seorang ibu yang mendatangi Gandhi (Mahatma Gandhi), dia mengeluhkan anaknya susah dinasehati untuk tidak makan garam, anak ibu tersebut suka makan garam saja. Lalu Gandhi bilang, kembali ke sini dua minggu lagi. setelah dua minggu, ibu itu kembali menemui Gandhi, di depan anak kecil dan si ibu Gandhi berkata "Jangan makan garam ya". Ajaib, anak tersebut berhenti dari kebiasaannya makan garam. penasaran ibu itu bertanya "Gandhi, bagaimana caranya, anak itu menuruti nasehatmu, luar biasa Gandhi" apa jawaban Gandhi? "Selama dua minggu itu aku tidak makan garam". Kesimpulannya kita akan didengarkan ketika kita sendiri melakukan. Mengajak siswa untuk membaca, wahai guru, berapa lembar buku yang sudah kita baca hari ini?
Lima belas menit diawal jam pelajaran adalah saat dimana
anak didik saya memperlihatkan kemurungan dan kegelisahan, gerakan literasi
yang diamanatkan oleh pusat menjadi sebab mereka enggan menjalaninya. Pasalnya buku-buku
yang ada hanya sekedar buku sejumlah siswa. Itupun dengan kualitas bacaan yang
saya rasa tidak sesuai dengan usia mereka. Hari ini dapat buku A misalnya, baru
5 halaman dibaca, besoknya tidak menjamin siswa dapat buku itu lagi. Padahal membaca
buku cerita atau pengetahuan apapun harusnya ya bersambung.
Sebagai bangsa yang besar Indonesia harus mampu mengembangkan
budaya literasi untuk prasyarat kecakapan hidup abad 21. Keadaan sekolah yang
terseok-seok mengutamakan hal yang lebih penting dan mendesak, berakibat
mengesampingkan buku-buku bermutu (menurut saya??) untuk bacaan siswanya. Saya sejak
SMP sudah membaca buku karya angkatan 45, angkatan Balai Pustaka, angkatan
Pujangga Baru, kecintaan keluarga pada buku menurun ke anaknya, walaupun tidak
semua anak menuruni minat baca yang tinggi dari orangtuanya. Ketika mengajar di
SMA yang letaknya diatas gunung dengan semangat siswa yang yahhhhh
begitulah.... satu hal yang saya sedih adalah ketiadaan buku-buku yang sudah
saya baca sejak SMP. Tidak ada buku Robohnya Surau Kami, Salah Asuhan, Trilogi
Ronggeng Dukuh Paruk, Tetralogi Bumi Manusia, Gadis Pantai, Layar Terkembang. Buku
tersebut ada setelah didengungkan nafas gerakan literasi itupun dibeli dadakan dan
belinya buku bajakan dengan kertas buram dan kualitas lem yang haduhhhhhh biyungggggg,
namun saya memahami dengan keadaan sekolah yang serba minimalis dan diharuskan mak
bedunduk menyediakan buku sejumlah siswa dan begitulah adanya, yang penting melaksanakan
amanat dulu untuk program literasi.
Bukan Luluk namanya kalau gampang menyerah, menghadapi siswa
yang minat membaca bukunya agak rendah, muncullah ide untuk memanfaatkan gadget
mereka. Ditambah lagi ide dari teman guru Sosiologi dari Rembang yang saya tahu
beliau tidak mau disebut namanya (takut tenar), literasi tidak hanya baca
tulis. Manfaatkan media untuk mengajak siswa tetap menjalankan ritual suci literasi.
Akhirnya setiap dini hari saya ngeprint artikel dari internet, untuk dibaca
siswa? Tidak hanya dibaca tetapi didiskusikan. Misalnya pagi ini saya
membagikan link untuk siswa agar membuka tirto.id, artikel berjudul “Tradisi Chhaupadi: Saat Perempuan
Haid Dianggap Membawa Sial” siswa yang tidak memiliki kuota bisa membaca bersama
dengan teman. Sekitar 7 menit selesai, kami diskusi, waooowwwww ritual literasi
yang awalnya hanya baca tulis kali ini saya berhasil mengajak mereka untuk
sampai ke tahap analisis. Bertambah satu lagi keyakinan saya, batu permata
ditemukan tidak langsung dalam bentuk permata, dia adalah bongkahan batu yang berwujud
batu saja dan didalamnya terdapat batu mulia, butuh perajin yang handal untuk
mengasah dan dengan ketrampilan sebegitu sabar, diamplas, digerus, dipahat,
dikikir supaya jadilah batu mulia dengan harga mahal.
Literasi Numerasi, Literasi Sains, Literasi Digital,
Literasi Budaya dan Kewargaan adalah alternatif membudayakan literasi selain
literasi Baca dan Tulis. Sajikan tabel, grafik atau monografi desa
masing-masing siswa, lihat jumlah penduduk dan tingkat pendidikan desa tersebut
misalnya, 20% APBN untuk pendidikan, beasiswa ada dimana-mana, mengapa masih saja
ada anak usia produktif yang tidak bisa sampai tahap wajib belajar 9 tahun, ayo
diskusikan!!!! Sesekali selingi dengan literasi digital menonton youtube
tentang kajian tertentu atau sesuaikan dengan mata pelajaran bapak ibu,
masihkah ada yang mengeluh tidak punya buku bacaan untuk literasi?
Mantaapp
BalasHapusSangat menginspirasi..
BalasHapusBu Luluk memang kereeennnn ... Klo saya menyarankan siswa untuk download aplikasi seperti ipusnas atau ikaltim ... Di sana ada segudang buku, bisa dipilih sesuai yg diminati ... Alhamdulillah bisa mengatasi minimnya buku bacaan untuk mereka (siswa)
BalasHapus